Wednesday, 03 July 2024

Daerah-daerah Tertentu di Pilkada 2024 Dikapling Dinasti Politik

Daerah-daerah Tertentu di Pilkada 2024 Dikapling Dinasti Politik


Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menyayangkan Pemilu dan Pilkada 2024 justru jadi pintu masuk bagi berkembangnya nepotisme dan dinasti politik untuk terus merajalela. Alih-alih mencari pemimpin dengan sungguh-sungguh, menurutnya, manuver politik belakangan ini menunjukkan ada daerah-daerah tertentu di Pilkada 2024 yang dikapling oleh dinasti. 

“Dengan begitu nanti keluarga tertentu saja yang memerintah di daerah-daerah tertentu secara terus-menerus. Jadi, apakah Pemilu dan Pilkada 2024 sekadar untuk melegalisasi nepotisme?” ujar Ray dalam keterangannya yang diterima Inilah.com di Jakarta, dikutip Minggu (23/6/2024).

Ia mengatakan pengusungan putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) Kaesang Pangarep di ajang Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2024, apabila Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) nanti merilis jadwal pelantikan kepala daerah setelah Kaesang berusia 30 tahun, maka artinya Kaesang diakomodasi untuk lolos Pilgub. “Kita tunggu dan lihat saja,” ucap Ray.

Ray menekankan bahwa Pemilu 2024 merupakan Pemilu terburuk sepanjang sejarah Reformasi, baik dari sisi substantif maupun teknis. Dia menilai keburukan itu berpotensi berlanjut hingga Pilkada 2024 yang bakal digelar pada November mendatang. 

Ia yakin politisasi bantuan sosial (bansos) hingga politik uang, yang dianggap tak terbukti secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kembali terjadi di proses Pilkada 2024. “Karena sampai kapan pun tidak akan terbukti karena memang buktinya tak konkret, tak berbentuk fisik,” tuturnya. 

Adapun Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) Jeirry Sumampow menyoroti ketidakpastian hukum dalam proses Pemilu lalu, dan hal ini mulai muncul lagi menjelang Pilkada 2024. Jeirry menekankan selalu ada regulasi yang diubah di tengah jalan, termasuk soal putusan Mahkamah Agung (MA) tentang perubahan minimal batas usia calon kepala daerah (cakada). “Padahal harus jelas aturan mainnya di depan,” tegasnya.

Baca Juga:  Kemenag Sebut 234 Haji Indonesia Wafat di Tanah Suci

Ia juga menyoroti Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara Pemilu yang cenderung lebih sigap untuk menyesuaikan Peraturan KPU terhadap putusan-putusan yang menyokong nepotisme atau politik dinasti, alih-alih yang menyangkut aspirasi khalayak luas seperti afirmasi 30 persen perempuan dan aturan mengenai peserta pemilu mantan narapidana. 

Selain itu, KPU juga disinyalir terlibat kasus manipulasi dan jual beli suara di beberapa daerah. Menengok apa yang terjadi di Pilpres 2024, lanjut Jeirry, peserta pemilu berpotensi menormalisasi yang sebelumnya terjadi di Pilpres 2024, termasuk menyoal pemasangan baliho dan spanduk di luar waktu kampanye. 

Peran pemerintah di Pemilu lalu juga ia anggap berlebihan, sehingga memungkinkan cawe-cawe politik, termasuk memobilisasi TNI-Polri dan ASN serta politisasi bansos. “Peran pemerintah mestinya dibatasi. Ke depan, kita tidak boleh lagi termakan oleh politik populisme, yang digunakan membangun dinasti, untuk itu kita harus melampaui populisme itu” kata Jeirry. 

Dia juga mendorong agar angka partisipasi pemilih yang dirilis ke publik harus dipastikan betul kebenarannya. Pasalnya, ada preseden bahwa pascapemungutan suara Pemilu 2024 Februari lalu, yang muncul hanya persentase jumlah perolehan suara. “Maka dari itu, mari kita amati dan awasi, karena kalau tidak, ini rawan manipulasi. Keburukan Pilpres 2024 jangan berlanjut di Pilkada,” ujarnya, menekankan.