Publik sempat terkejut ketika Agus Harimurti Yudhoyono (AHY, lulusan terbaik Akmil 2000) tiba-tiba mengajukan pensiun dini pada tahun 2017 untuk mengikuti Pilkada Gubernur Jakarta. Publik terheran-heran mengapa AHY begitu tega melepas karir cemerlang di TNI, ketika masa depan bagi dirinya sudah terpetakan dengan jelas.
Bagi perwira sekelas AHY, dengan latar belakang keluarga yang kuat, menjadi perwira tinggi di TNI AD hanyalah soal waktu. Sebagai catatan pembanding, salah satu lulusan Akmil 1999 sudah ada yang menembus posisi pati, yakni Brigjen TNI Faisol Izuddin Karimin, yang menjabat Danrem 061/Surya Kencana (Bogor) sejak November 2023. Artinya, jika AHY bersedia sedikit bersabar dan tidak buru-buru pensiun dini pada 2017, tentu tahun ini ia sudah bersiap-siap untuk promosi menjadi brigjen. Namun, semua itu sudah menjadi sejarah. Hidup adalah pilihan, dan AHY rupanya memilih mundur dari TNI.
Jika kita telusuri lebih lanjut, ternyata ada satu nama lagi perwira muda dengan prospek karir cemerlang (termasuk intelektualnya) yang juga lebih memilih pensiun dini, yaitu Letkol Kav (Purn) M. Iftitah Sulaiman (lulusan terbaik Akmil 1999). Iftitah menjadi fenomena unik, mirip dengan AHY, yang lebih memilih pensiun dini saat prospek karier militernya sedang baik-baik saja.
Seperti AHY, Iftitah juga merupakan lulusan terbaik Akmil di generasinya. Bahkan, Iftitah adalah lulusan US Army Command and General Staff College, Fort Leavenworth, Kansas, sebuah lembaga pendidikan perwira setara Seskoad yang sangat bergengsi, dan hanya perwira-perwira muda cemerlang yang bisa masuk. Di Indonesia, biasanya hanya tersedia (maksimum) dua kursi per angkatan di Seskoad (versi AS), dan Iftitah adalah salah satu perwira (saat masih aktif) yang beruntung bisa mengikuti pendidikan di sana.
Secara kebetulan, AHY dan Iftitah kini bergerak dalam lingkaran yang sama di Partai Demokrat. Benar, Iftitah adalah penasihat politik yang paling dipercaya oleh AHY. Sinergi seperti ini seolah melanjutkan tradisi politik Indonesia, di mana setiap penguasa selalu memiliki tandem atau pendamping yang sangat dipercaya, seperti hubungan antara (Presiden) Soeharto dan Ali Moertopo di masa lalu, atau Jokowi dengan Luhut (LBP) saat ini. Tampaknya, AHY sudah menyiapkan tandem sejak awal, jika dirinya benar-benar berkuasa kelak, sebagai presiden misalnya.
Jabatan Bukan Segalanya
Bila alasan AHY untuk pensiun dini, rasanya publik sudah mafhum, dan lagi AHY adalah anak orang besar, sehingga proses pensiunnya dulu terkesan sangat mudah dan cepat. Hanya dalam hitungan hari, surat keputusan pensiun sudah terbit. Termasuk pula motivasi mengapa AHY mengajukan pensiun dini, publik juga sudah mengerti. Sementara itu, Iftitah adalah anak orang biasa, dan inilah yang membuat kasus pensiun dininya menjadi menarik. Publik akan bertanya-tanya, apakah tidak sayang meninggalkan karier militer ketika prospek kariernya demikian cerah?
Posisi kedua orang ini juga berbeda. AHY sudah sejahtera karena dia anak (mantan) presiden, jadi bukan masalah serius bila dia bergegas meninggalkan karier militernya yang prospektif. Sementara itu, Iftitah mungkin memiliki faktor aktualisasi diri, yang kemudian selaras dengan undangan untuk masuk “lingkaran dalam” AHY. Dengan menjadi orang kepercayaan AHY, Iftitah secara alamiah akan memperoleh kesejahteraan, yang pada gilirannya akan membuka ruang untuk melahirkan gagasan cemerlang, baik sebagai konsultan politik AHY, maupun untuk kepentingan dirinya sendiri.
Selain AHY dan Iftitah, tentu ada sejumlah perwira lain yang mengambil pensiun dini dengan berbagai alasan. Namun, AHY dan Iftitah sedikit berbeda karena keduanya adalah peraih Adi Makayasa, yang rata-rata selalu menjadi pati dan setidaknya memperoleh posisi pangdam dalam perjalanan kariernya. Itulah sebabnya pilihan mereka untuk pensiun dini menjadi fenomena unik dan di luar nalar.
Pilihan AHY dan (utamanya) Iftitah untuk pensiun dini semakin membuka mata publik bahwa kepentingan perwira tidak lepas dari soal aktualisasi diri. Dengan menjadi penasihat politik AHY, potensi Iftitah sebagai pemikir cemerlang lebih terakomodasi ketimbang tetap berkarir di TNI. Di lingkungan TNI ada kendala hirarki, sehingga terkadang seorang perwira muda yang memiliki gagasan cemerlang belum tentu pemikirannya bisa segera diproses, karena masih tergantung pada kebijakan atau gaya kepemimpinan atasannya. Banyak pula atasan yang masih memegang prinsip “pokoknya,” sehingga kurang memberi ruang bagi gagasan perwira muda, secemerlang apa pun gagasan itu.
Selanjutnya, ada asumsi yang mungkin masih spekulatif terkait pilihan pensiun dini Iftitah. Bisa jadi ini berkaitan dengan kecabangan beliau. Iftitah berlatar belakang kecabangan kavaleri, yang agak sulit untuk meraih posisi KSAD. Tradisi di TNI AD lebih memprioritaskan kecabangan infanteri untuk posisi KSAD, sementara kuota KSAD dari kecabangan kavaleri sudah pernah diambil oleh Jenderal Hartono (Akmil 1962). Sehingga untuk kembali mendapatkan giliran perwira tinggi dari kecabangan kavaleri, masih membutuhkan waktu lama, dan inilah yang sepertinya membuat Iftitah lebih memilih mundur dari TNI AD.
Melihat pengalaman AHY dan Iftitah, kita mungkin bisa merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi pada generasi baru (Gen Z). Bagi Gen Z, bergabung menjadi tentara hanyalah salah satu jalan untuk mengabdi pada tanah air. Sementara itu, lembaga pendidikan seperti Akmil atau Akpol tidak akan pernah kekurangan minat; tetap menjadi magnet bagi generasi muda yang baru lulus SMA. Menjadi perwira adalah salah satu jalan menuju kekuasaan dan kesejahteraan.
Bagi generasi sekarang, menjadi seorang tentara dengan segala atribut dan kebanggaannya hanyalah salah satu pilihan di antara sekian profesi menarik lainnya, meski antrean untuk masuk Akmil atau akademi demi matra lainnya tetap saja panjang. Menjadi tentara hanyalah salah satu pilihan dalam mengabdi kepada negara dan masyarakat; kira-kira begitulah pandangan generasi sekarang. Namun, pandangan ini tidak mengurangi kebanggaan generasi baru yang memilih menjadi tentara sebagai panggilan hidupnya, dengan komitmen penuh dan siap menghadapi segala konsekuensinya.
Visi Perwira Generasi Baru
Masa pendidikan pembentukan karakter perwira sangat menentukan. Di kampus Akmil (Magelang), pengaruh lingkungan bisa diminimalisasi karena metode pendidikan yang eksklusif. Tantangan yang sebenarnya baru terlihat saat lulus dari Akmil dan mulai meniti karier, sehingga interaksi dengan masyarakat mulai terjadi. Kondisi kekinian masyarakat kita yang begitu berhasrat dalam memburu kesejahteraan tentu berpengaruh pada suasana batin para perwira muda.
Pada fase inilah, bimbingan para perwira yang lebih senior atau atasan langsung perwira muda menjadi sangat berarti. Para perwira senior, baik itu danyon maupun danbrig, memiliki tugas tambahan untuk ikut membentuk karakter dan jati diri para perwira muda. Dari pengamatan sekilas, kita bisa memahami bahwa tidak semua perwira sanggup bertahan menghadapi tarikan gaya hidup sebagaimana layaknya orang yang sudah hidup mapan. Merupakan tantangan tersendiri bagi perwira muda untuk meredam keinginan memiliki kendaraan model SUV atau stik golf.
Peran perwira senior menjadi penting karena ada nilai keteladanan di situ, seperti keberanian untuk hidup sederhana dan tetap menjaga etika saat berikhtiar mencapai kesejahteraan. Nilai keteladanan pada masa kini adalah sesuatu yang langka, kalau tidak boleh disebut mahal. Keteladanan menjadi hilang ketika sebagian besar pejabat publik secara kolektif sibuk memburu kekuasaan dan kesejahteraan, yang sebenarnya sudah sampai pada tingkat memalukan.
Bagi perwira dalam posisi danbrig atau danrem, memiliki nilai strategis mengingat dalam posisi tersebut, bakat dan kemampuan sebagai calon pemimpin benar-benar diuji. Apakah dia sanggup menahan godaan gaya hidup hedonis, sebagaimana pejabat publik pada umumnya dan para pelaku sektor bisnis? Sementara pada sisi lain, mereka masih memiliki tugas tambahan, yaitu membimbing para yunior, mulai dari mereka yang sudah menjadi danyon hingga yang masih danton, termasuk bagi perwira yang bertugas sebagai staf pendukung.
Publik layak berharap pada generasi Akmil pascareformasi, karena ketika mereka memutuskan menjadi tentara, mereka telah sepenuhnya mengerti bagaimana “arus besar” masyarakat kita sebenarnya, yang ditunjukkan perilaku para elite politik yang umumnya tamak dan tidak lagi memiliki rasa malu. Kita masih memiliki optimisme bahwa para ksatria yang ditempa di lembah Tidar tidak ikut-ikutan bergaya hidup hedonis. Meski bukan entitas politik, bagaimanapun TNI memiliki kapasitas politik besar, sehingga masyarakat juga ingin mengetahui bagaimana integritas dan komitmen perwira generasi baru. Dalam kebiasaan masyarakat kita, elite TNI, seperti yang sedang menjabat Danjen Kopassus, pangdam, atau Pangkostrad, biasanya juga dianggap sebagai figur publik.