Ekonom dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mewanti-wanti pemerintah yang berencana menaikan tarif ojek online (ojol) sebesar 8-15 persen. Dia mengatakan dampaknya bisa menyebabkan inflasi.
“Dari sisi makroekonomi, kenaikan tarif ojol menambah tekanan inflasi pada barang konsumsi rakyat,” ujar Achmad kepada Inilah.com, Jakarta, Sabtu (5/7/2025).
Dia menjelaskan, banyak UMKM yang menggunakan layanan ojol untuk distribusi barang dan makanan. Jika tarif naik, maka bahan baku akan ikut naik.
“Ketika tarif naik, biaya distribusi naik, harga jual barang pun terdorong naik. Pada akhirnya konsumen yang sebagian besar masyarakat menengah bawah harus membayar harga lebih mahal,” jelas dia.
Achmad bilang, kenaikan tarif tak bisa ditentukan secara sepihak oleh regulator dan aplikator tanpa mekanisme partisipasi pengemudi. Dia menyebut, jika pengemudi ojol masih diposisikan sebagai mitra tanpa hak tawar, maka kenaikan tarif hanya akan menambah keuntungan aplikator dan membebani rakyat.
“Jangan biarkan aplikator menikmati laba jutaan dolar, sementara para pengemudi hanya mendapat remah, bahkan tak memiliki ruang untuk menentukan skema kerja yang layak,” jelasnya.
Ojol Perbudakan Modern
Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Kamiri menyatakan akar permasalahan para pengemudi adalah sistem perbudakan modern yang diterapkan aplikator.
“Kebijakan dan sistem bisnis ojol saat ini memang mencerminkan gejala perbudakan modern berbasis aplikasi. Meski dibungkus dengan istilah ‘kemitraan’, kenyataannya pengemudi tidak memiliki posisi tawar yang sejajar,” ujar Syafruddin kepada Inilah.com, dihubungi dari Jakarta, Kamis (3/7/2025).
Dia mengatakan, para pengemudi ojol telah bekerja penuh waktu, menanggung biaya operasional, menggunakan kendaraan pribadi sebagai modal produksi, tetapi tetap tidak mendapat jaminan sosial. Selain itu, dia mengingatkan, para pengemudi ojol juga tidak memiliki jenjang karir, bahkan antara pihak aplikator dengan pengemudi tak berunding dalam penentuan skema kerja.
“Lebih ironis lagi, keuntungan terbesar justru dikonsolidasikan di tangan aplikator. Entitas yang tidak menyediakan kendaraan, tidak membayar BBM, dan tidak menanggung risiko kerja harian,” jelas dia.
Dalam situasi seperti ini, dia menyebut istilah ‘mitra’ jadi kamuflase untuk menutupi relasi eksploitatif yang sistemik. “Tanpa perlindungan hukum dan hak dasar pekerja, pengemudi ojol hidup dalam ketergantungan ekonomi yang menyerupai struktur perbudakan modern,” katanya.
Aplikator Tarik Pungli
Anggota Komisi V DPR RI Adian Napitupulu meluapkan kemarahannya saat rapat kerja bersama Kemenhub. Dia menyoroti transparansi transaksi dan potongan biaya layanan ojol. Adian menolak anggapan bahwa perusahaan aplikator merupakan pencipta lapangan kerja. Ia menegaskan bahwa keberadaan ojek sudah ada jauh sebelum platform digital hadir.
Ia menilai narasi yang menyebut aplikator sebagai pahlawan adalah sesat dan manipulatif. Menurutnya, aplikator hanyalah penyedia jasa teknologi, bukan penyelamat ekonomi rakyat. Ketegangan memuncak ketika Adian memaparkan bukti rincian transaksi ojol senilai Rp81 ribu yang menurutnya mencakup potongan tidak wajar sebesar Rp29 ribu. Rincian potongan itu terdiri atas biaya jasa aplikasi sebesar Rp10 ribu, biaya lokasi Rp18 ribu, dan biaya perjalanan aman Rp1.000.
“Ada paling tidak di data ini Rp29 ribu dipungut dari driver dan konsumen tanpa dasar hukum apa pun,” ujarnya sambil mengangkat bukti transaksi, di kompleks DPR RI, Jakarta, Senin (30/6/2025).
Adian juga mengungkapkan bahwa biaya jasa aplikasi dikenakan berbeda untuk roda dua dan roda empat—masing-masing sebesar Rp2 ribu dan Rp10 ribu. Ketika ditanyakan apakah pemungutan ini diatur pemerintah, perwakilan Kementerian Perhubungan menyatakan tidak ada regulasi yang mengatur hal tersebut. “Ini tidak diatur ini,” ujar salah satu perwakilan kementerian saat menjawab pertanyaan Adian.
Dalam forum tersebut, Adian menyebut bahwa negara telah membiarkan praktik pungutan tidak berdasar ini berlangsung dalam waktu yang lama dan melibatkan nominal triliunan rupiah. “Bisa kita sebut pungli? Dan kalau kita bisa sebut pungli, bagaimana kalau saya katakan, negara bertahun-tahun membiarkan pungli bertriliun-triliun terjadi di depan mata kita,” tandasnya.
Sebelumnya, di forum yang sama, Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Aan Suhanan, mengatakan bakal ada perubahan tarif ojol, terutama roda dua. Dia bilang pada prinsipnya kenaikan tarif sudah disetujui para aplikator, namun buat memastikan Kemenhub bakal memanggil aplikator untuk membahasnya.
“Kami sudah melakukan pengkajian dan sudah final untuk perubahan tarif, terutama roda dua, itu ada beberapa kenaikan. Bervariasi, kenaikan yang disebut ada 15 persen, ada 8 persen tergantung dari zona yang kita tentukan,” ujar Aan.
Tarif ojol per kilometer saat ini masih merujuk Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564/2022 yang membaginya menjadi tiga zona. Zona I meliputi Sumatera, Jawa (selain Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), dan Bali. Tarif di zona ini Rp1.850 hingga Rp2.300 per kilometer.
Zona II meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Tarif di zona ini Rp2.600 hingga 2.700 per kilometer. Zona III meliputi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan sekitarnya, Maluku dan Papua. Tarif di zona ini Rp2.100 hingga 2.600 per kilometer.