Saturday, 12 October 2024

Kisah Akhlak Para Wali: Imam Ahmad dan Kuli

Kisah Akhlak Para Wali: Imam Ahmad dan Kuli - inilah.com

Suatu hari putra Imam Ahmad menyewa seorang kuli untuk mengangkat barang dari pasar ke rumah.  Ketika sampai di rumah beliau, kuli itu mencium aroma roti.  Mereka (keluarga Imam Ahmad) memberinya sepotong, tetapi sang kuli menolaknya.  Ketika sang kuli meninggalkan rumah beliau, Imam Ahmad memerintahkan putranya untuk mengejarnya dan memberikan roti itu kepadanya.  Anehnya sang kuli mau menerimanya.  Peristiwa ini menarik perhatian putra Imam Ahmad dan ia pun bertanya kepada ayahnya:

“Duhai ayah, mengapa ia mau menerima roti itu setelah meninggalkan rumah ini, sedangkan sebelumnya ia menolaknya?”

“Kuli itu seorang yang saleh.  Ia sedang berpuasa.  Ketika mencium aroma roti tersebut nafsunya menginginkannya.  Oleh karena itu, ketika diberi roti itu ia menolaknya.  Setelah ia pergi, nafsunya sudah tidak menginginkan roti itu lagi, maka ketika engkau memberikannya, ia pun menerimanya,” jawab Imam Ahmad.

Baca Juga:  Gibran, Fufufafa dan Bom Waktu Politik

Hikmah Di Balik Kisah

Orang-orang yang beriman menerapkan adab dalam semua segi kehidupan mereka, termasuk di antaranya adab saat menerima atau menolak pemberian.  Habib ‘Abdullâh Bin ‘Alwî Al-Haddâd dalam salah satu nasihatnya berkata:

Jika engkau menerima pemberian dari seseorang, maka yakinilah dalam hatimu bahwa pada hakikatnya yang memberi adalah Allâh Ta’âlâ, dan jangan tautkan hatimu kepada makhluk Allâh.  Jika hatimu sudah mampu bersikap demikian, terimalah pemberian itu dan jangan khawatir.  Menerima pemberian yang tidak disukai (yang tidak terpuji) adalah jika seseorang menerima sesuatu sedangkan nafsunya sangat menginginkannya. Ia menginginkan sesuatu itu dari tempat tertentu.  Orang-orang terdahulu, mereka menolak pemberian yang sangat diinginkan oleh nafsu mereka.

Baca Juga:  Kiai Cholil Nafis: Tidak Ada Paksaan untuk Percaya Keturunan Habaib
[

Habîb ‘Ahmad bin Hasan bin ‘Abdullâh Bin ‘Alwî bin Muhammad bin Ahmad Al-Haddâd, Tatsbîtul Fuâd, juz.2. hal.178.]