Wednesday, 03 July 2024

Maulid Nabi di New York City

Maulid Nabi di New York City

Oleh Fahd Pahdepie*

Saya tiba di Bandara John F Kennedy, New York, sekitar pukul 14.30 waktu setempat. New York sedang berangin, suhu udaranya sekitar 19-21 derajat celcius. Jaket yang saya kenakan cukup untuk menghalau udara sejuk di sana. Saya berjalan di koridor T4 Bandara JFK sambil memperhatikan sekeliling, “Assalamualaikum, New York.” Batin saya.

New York adalah sebuah melting pot. Orang-orang dari berbagai penjuru dunia berkumpul di sini, entah untuk sebuah kunjungan singkat atau rencana menetap. Saya dan beberapa kawan yang tiba sore itu dari Jakarta datang dengan alasan yang pertama. Kami melakukan muhibah dalam program yang digagas Pemerintah Provinsi Jawa Barat, namanya English for Ulama. Program ini dirancang untuk para kader ulama dan pemimpin muda dalam ranngka melakukan dialog budaya dan agama, memperkenalkan Islam Indonesia kepada dunia.

Selain kami, tentu banyak orang datang ke New York untuk menetap. Di pesawat, saya bertemu sejumlah orang dari negara-negara Afrika yang hendak pindah untuk menetap di New York. Mereka datang dengan program UNHCR, lembaga di bawah PBB yang mengurusi para pengungsi akibat perang dan bencana kemanusiaan. Saya bisa mengidentifikasi mereka dari ID yang dikenakan, juga antrean berbeda yang mereka ambil saat di imigrasi.

“New York is the only real city.” Tulis sebuah banner yang dicetak besar-besar di JFK Airport. Mungkin ini yang dipikirkan mereka yang ingin pindah ke New York. Teman saya, Ihya Ulumuddin, berfoto dengan latar belakang tulisan itu. Senyumnya lebar. Tak lupa ia berpose dengan jempol terangkat. “Ini kali pertama saya ke New York. Biasanya hanya lihat di film-film. Penasaran juga ketemu alien atau enggak.” Ujarnya sambil bercanda.

Bagi banyak orang, New York memang kota impian. Paling tidak, bagi para pelancong, sekali seumur hidup mesti pernah menginjakkan kaki di kota yang sering digambarkan diserang makhluk luar angkasa di film-film superhero. Memang seharusnya alien-alien itu bisa menyerang New York diam-diam di malam hari. Sayangnya, kota ini tak pernah tertidur, a city that never sleeps, kata Frank Sinatra.

Benar saja, New York memang tak pernah tertidur, bahkan mungkin tidak mengantuk. Kota ini selalu berdenyut. Orang-orang yang mencari kehidupan, mencari jati diri, mencari arah masing-masing, sibuk berlalu-lalang di setiap sudut kotanya. Sejak dijemput di bandara oleh Pak Agus, seorang diaspora Indonesia yang sudah tinggal di New York sejak tahun 1995, kami diajak berkeliling melihat kota yang macet, terus bergerak dan membangun.

Baca Juga:  Sabar/Reza Tembus Semifinal Indonesia Open

“Buat yang belum pernah ke New York, biasanya membayangkan kota ini ‘wah’ kayak di film-film. Tapi kalau sudah ke sini, beginilah keadaannya. Bagusan di Indonesia, sih, kalau menurut saya. Di sana lebih tenang dan nyaman.” Kata Pak Agus sambil berkelakar. Ia menyampaikan fakta yang cukup membuat sebagian besar di antara kami patah hati. Sudah jauh-jauh terbang hampir 24 jam ke sini, kok bagusan di Indonesia?

Namun, memang begitulah New York hari ini. Tak seindah di film-film Holywood. Tak sehebat yang kita bayangkan. Sebaliknya, kota ini justru rapuh dan sakit. Saya bisa merasakan nuansa itu sejak keluar dari bandara. Di sepanjang jalan hingga ke hotel tempat kami menginap di 8th Street, berdasarkan pengalaman saya mendatangi kota-kota di dunia, saya tahu New York bahkan mungkin sebagian besar Amerika Serikat sedang tidak baik-baik saja.

Di perjalanan saya membaca berita sekelompok remaja menjarah toko Apple di Philadelphia, sekitar 1,5 jam dari New York City. Di CNN live, berita-berita buruk juga tak kunjung berhenti, dari pengangguran yang memicu kriminalitas tinggi hingga menurunnya tingkat keamanan kota. Bulan lalu, otoritas setempat bahkan mengumumkan menyebarnya ‘zombie drug’ Xylazine dan Tranq yang membuat para pemadat seperti mayat hidup di pinggiran-pinggiran jalan.

Barangkali memang kita harus berperjalanan jauh untuk menghargai betapa indah rumah yang sering kurang kita syukuri. Barangkali kita harus menginjak sendiri rumput di rumah orang lain yang kita sangka hijau, ternyata banyak ranjaunya. Setiap perjalanan selalu mengajarkan saya makna rindu, pulang, dan syukur semacam ini. Terlalu banyak hal-hal yang gagal kita syukuri, baik sebagai individu, masyarakat, umat atau bangsa.

Semula, saya datang ke New York dengan niat belajar. Tapi mungkin boleh juga kita tambahkan sedikit rasa percaya diri bahwa kita juga harus bisa mengajar dan memberi inspirasi. Kota ini mungkin butuh ‘sentuhan’ dari apa yang kita punya di kampung-kampung tradisional di Indonesia. Tentang orang-orang dan kebijaksanaan kehidupan yang dimilikinya.

Baca Juga:  Juara! Celtics Lampaui Lakers Koleksi Gelar NBA Terbanyak

Malam hari, saya berjalan menyusuri Times Square. Ribuan orang memadati wilayah itu, entah untuk nongkorong, makan, belanja, atau sekadar foto-foto. Tak semua dari mereka ceria seperti di social media, banyak juga yang sebenarnya terlihat murung dan bingung. Di kiri-kanan jalan, sejumlah pengemis menatap dengan tatapan yang kosong, bau ganja menguar di udara, bau pesing membuat hidung tak nyaman. “Ini mungkin masalah dari kota yang kurang tidur, jadi kurang sehat dan masuk angin, banyak melamun!” Canda saya pada seorang teman.

Inilah kota yang konon menjadi kiblat demokrasi. Mercusuar dunia untuk definisi kemajuan. Kota yang mengagungkan kebebasan. Kota yang memaksa dunia untuk menghalalkan dan menerima yang haram dan tabu. Kota yang saya kira tidak berdiri dengan tegak, sempoyongan, dan bingung. Kota yang disulap dengan ‘make-up’ tebal citra industri film dan televisi.

Malam itu 27 September 2023, bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 1445 H. Di tengah raung sirine mobil polisi dan ambulans yang tak kunjung berhenti di New York City, saya memilih untuk menepi, mengobrol dengan penjual kebab dan hot dog di gerobak-gerobak ‘halal’ yang menjamur di sudut-sudut jalanan kota. “Malam ini maulid, ya?” Bisik saya kepada Ahmed, imigran asar Mesir. Ia mengangguk. “Mari kita bershalawat kepada Nabi Muhammad.” Ajak saya.

Kamipun bershalawat berdua di tengah riuh-rendah kota, di bawah gemerlap layar-layar raksasa LED, billboard-billboard selebriti. Lau kana bainanal habib, seandainya Nabi Muhammad ada di sini di tengah-tengah kita. Ladanal qasii wal qariib, yang jauh dan dekat akan datang kepadanya.

Dari New York City, saya merindukan pawai obor maulid di Ciganitri. Ah, seandainya orang-orang di sini tak memahami Islam dan Nabi Muhammad dari media dan propaganda, seperti seandainya kita tak membayangkan New York dan Amerika dari film-film Holywood saja.

New York, 28 september 2023

FAHD PAHDEPIE

Delegasi English for Ulama