Warga dunia sudah dibuat babak belur untuk mencegah infeksi COVID-19. Dari mulai penggunaan masker, jarak sosial hingga program vaksinasi. Kini muncul harapan baru dari pengobatan dengan dua kandidatnya. Mana yang lebih ampuh? Mampukah menghalau varian-varian baru yang bermunculan?
Saat ini, ada dua obat oral untuk COVID-19 yakni Molnupiravir dan Paxlovid. Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tengah memproses izin penggunaan darurat Molnupiravir. Di negara lain seperti Inggris telah menyetujui penggunaan Molnupiravir yang dikembangkan Merck dan Ridgeback itu pada 4 November 2021. Sedangkan, produsen obat Paxlovid, Pfizer sedang memproses izin penggunaan darurat pada Food and Drug Administration (FDA) AS.
Molnupiravir awalnya dikembangkan untuk mengobati influenza. Obat ini diberikan kepada pasien dengan COVID-19 ringan hingga sedang dalam waktu lima hari setelah gejala muncul. Molnupiravir akan efektif bila digunakan lebih awal. Inggris telah merekomendasikan penggunaannya sesegera mungkin setelah tes positif dan dalam waktu lima hari setelah timbulnya gejala.
Kandungan dalam obat ini mengganggu replikasi SARS-CoV-2, sehingga mengurangi keparahan penyakit. Begitu virus masuk ke dalam sel-sel tubuh, dia mereplikasi genomnya, yang terbuat dari RNA (asam ribonukleat). Genom yang direplikasi ini kemudian dibentuk menjadi partikel virus lengkap yang keluar dari sel dan terus menyebar ke seluruh tubuh.
Molekul Molnupiravir nantinya diserap oleh sel yang terinfeksi virus, kemudian mengubahnya menjadi versi cacat dari blok bangunan RNA. Jadi, ketika virus mencoba untuk bereplikasi, partikel virus yang dihasilkan memiliki materi genetik yang rusak dan tidak dapat lagi bereproduksi. Karena Molnupiravir menargetkan RNA yang digunakan SARS-CoV-2 sebagai bahan penyusunnya, harusnya Molnupiravir sama efektifnya terhadap semua varian Virus Corona.
Sementara Paxlovid merupakan obat COVID-19 yang bekerja sebagai protease inhibitor. Protease inhibitors merupakan kelas dari pengobatan yang digunakan untuk menangani atau mencegah infeksi oleh virus. Obat COVID-19 ini dirancang untuk memblokir enzim yang dibutuhkan virus untuk berkembang biak. Ini menghambat replikasi virus pada proteolisis, tahap yang terjadi sebelum replikasi virus.
Paxlovid ini dikemas dalam kemasan blister terdiri dari dua pil dengan salah satu antivirus, ritonavir. Mengutip USA Today, tambahan ritonavir ini memungkinkan Paxlovid aktif lebih lama pada konsentrasi yang lebih tinggi. Pemberian obat COVID-19 Paxlovid ini pada pasien yakni mengambil dua bungkus sehari selama lima hari.
Hasil Uji Global
Untuk Molnupiravir, pada 1 Oktober lalu, Merck mengumumkan analisis sementara dari studi fase 3 global. Hasilnya, 7,3 persen pasien yang menerima Molnupiravir dirawat di rumah sakit hingga hari ke-29, dibandingkan dengan 14,1 persen pasien yang diobati dengan plasebo yang dirawat di rumah sakit atau meninggal.
Molnupiravir mengurangi risiko rawat inap atau kematian sekitar 50 persen. Hingga hari ke-29, tidak ada kematian yang dilaporkan pada pasien yang menerima Molnupiravir, dibandingkan dengan delapan kematian pada pasien yang menerima plasebo. Pada peserta dengan data urutan yang tersedia (40 persen), Molnupiravir menunjukkan ‘kemanjuran yang konsisten’ di seluruh varian Gamma, Delta, dan Mu.
Bagaimana dengan Paxlovid? Studi fase 2-3 Pfizer sedang dilakukan di beberapa negara. Berdasarkan uji coba pada 1.219 pasien berisiko tinggi yang baru saja terinfeksi COVID-19 ditemukan bahwa hanya 0,8 persen yang diberi obat Paxlovid dirawat di rumah sakit dibanding 7 persennya yang diberi plasebo. Perhitungan tersebut dilakukan terhadap mereka yang melakukan perawatan tiga hari sejak gejala COVID dimulai.
Pada mereka yang diberi plasebo sebanyak tujuh orang meninggal, sedangkan yang diberi Paxlovid tak satupun meninggal. Saat dirawat dalam waktu lima hari dari sejak gejala muncul hanya 1 persen yang diberi Paxlovid yang berujung di rumah sakit dan tak seorang pun meninggal. Sedangkan kelompok plasebo ada sebanyak 6,7 persen dirawat di mana 10 di antaranya meninggal.
Perbedaan Kedua Obat
Cara kerja Paxlovid dan Molnupiravir adalah menghambat virus penyebab COVID-19 untuk memperbanyak diri. Sama-sama obat oral untuk menghambat laju perkembangan Virus Corona, berikut perbedaan keduanya.
1. Molnupiravir
Efikasi: 50 persen
Durasi terapi: lima hari
Diberikan bersama obat lain: tidak
Untuk berbagai varian: ya
Diberikan untuk: COVID-19 ringan hingga sedang, berisiko sakit berat, tidak dirawat inap.
2. Paxlovid
Efikasi: 89 persen
Durasi terapi: lima hari
Diberikan bersama obat lain: ya, Ritonavir
Untuk berbagai varian: ya
Diberikan untuk: COVID-19 ringan hingga sedang, berisiko sakit berat, tidak dirawat inap.
Kapan Masuk ke Indonesia?
Saat ini, sudah lebih sembilan negara memesan Molnuporavir di antaranya Australia (300.000 dosis), AS (1.700.000 dosis), Inggris (480.000 dosis), Malaysia (150.000 dosis), Prancis (50.000 dosis), Filipina (300.000 dosis), Korea Selatan (200.000 dosis), Thailand (200.000 dosis), dan Indonesia (600.000-1.000.000 dosis).
Sementara pil Paxlovid sudah dipesan Australia (500.000 dosis), AS (jutaan dosis), Inggris (250.000 dosis) dan Korea Selatan (70.000 dosis).
Menteri Kesehatan RI (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyampaikan akan membeli 600.000 hingga 1 juta tablet Molnupiravir. “Saya sudah ke AS dan bertemu dengan produsen obatnya, Merck. Sudah ada kesepakatan, rencana kita akan beli dulu sementara 600.000 sampai 1 juta tablet pada Desember 2021,” ujarnya saat Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR, 8 November lalu.
Dia menyebut, upaya tersebut dilakukan pemerintah dalam memenuhi stok obat sebagai persiapan antisipasi gelombang ketiga COVID-19 yang diprediksi akan terjadi pada masa libur Natal dan Tahun Baru.
Menkes Budi mengatakan, Molnupiravir yang diproduksi Merck, perusahaan farmasi AS, sudah memberikan lisensi kepada delapan perusahaan di India untuk proses produksi. “Struktur industri farmasi di India kuat dan murah mulai dari hulu ke hilir sehingga alat kesehatan dan obat-obatan jauh lebih murah dari harga di dunia,” katanya.
Untuk Paxlovid, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah terus menjajaki sejumlah obat COVID-19. Tidak hanya Molnupiravir produksi Merck, tapi juga Paxlovid buatan Pfizer.
Menko Luhut menyebut, Paxlovid dikabarkan mampu mengurangi risiko rawat inap di rumah sakit dan kematian bagi kelompok berisiko hingga 89 persen. “Inipun kita dalam proses penjajakan sehingga kita mau industri itu ada dalam negeri,” katanya dalam Forum Nasional Kemandirian dan Ketahanan Industri Sediaan Farmasi, baru-baru ini.
Berapa Harganya?
Kedua perusahaan belum mengumumkan harga dari obat COVID-19 masing-masing. Namun, kedua perusahaan farmasi tersebut menyatakan harganya akan terjangkau. Pemerintah Indonesia juga belum mengungkapkan harga jual obat ini.
Hanya saja Juru Bicara Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, obat Molnupiravir rencananya akan diberikan secara cuma-cuma kepada pasien COVID-19. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan obat ini dijual bebas di pasaran. “Untuk dapat diedarkan harus mendapatkan izin edar dari BPOM yang didaftarkan oleh perusahaaan farmasi sendiri,” ucapnya.
Menurut dia, obat Molnupiravir yang dijual di pasaran nantinya bukan obat yang dibeli Kemenkes. Obat tersebut dibeli sendiri oleh perusahaan farmasi. Untuk mekanismenya bisa melalui pemerintah ataupun swasta. Dengan menggunakan kurs saat ini (kurs 14.271 /USD), harga Molnupiravir sebesar Rp570.840-Rp713.550.
Baru bulan depan Molnupiravir bakal hadir di Indonesia. Namun, bukan berarti kehadiran obat ini bakal menghentikan program vaksinasi yang terus gencar dilakukan pemerintah. Selain itu menjalankan 5M yakni mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas tetap menjadi sebuah keharusan.