Banyak yang mengkritik sistem proporsional tertutup, Mahkamah Konstitusi (MK) didesak untuk menolak gugatan terhadap sistem proporsional terbuka.
Akademisi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Allan Wardhana mengungkapkan dua alasan kuat bagi MK untuk mempertahankan sistem proporsional terbuka pada gelaran Pemilu 2024.
Alasan yang pertama, sistem coblos nama calon anggota legislatif (caleg) lebih mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat. Dalam memilih wakilnya, rakyat harus berdaulat penuh jangan dialihkan keputusannya kepada partai politik (parpol).
“Pertama, sistem proporsional terbuka lebih mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat. Keterpilihan caleg tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik apalagi pimpinan parpol,” ujar Allan dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Jumat (6/1/2023).
Lalu alasan yang kedua, sambung dia, cara coblos nama caleg merupakan wujud komitmen negara dalam menjunjung kesetiaan dalam menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. “Sistem proporsional terbuka lebih ‘memuliakan’ daulat rakyat dibanding sistem proporsional tertutup,” ungkap Allan.
Ia pun meminta MK berhati-hati dalam memutuskan perkara pengujian Undang-Undang (UU) Pemilu yang sedang bergulir saat ini. Allan menegaskan komitmen MK sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi, tengah dipertaruhkan.
“Jangan sampai MK mengingkari semangat berdemokrasi dengan terjebak dan terlibat serta turut serta merusak sistem pemilu yang selama ini telah dan sedang dibangun,” pungkasnya.
Diketahui, enam kader partai politik telah melayangkan gugatan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait sistem proporsional tertutup dalam perhelatan Pemilu Legislatif 2024.
Mereka menilai sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini bertentangan dengan UUD 1945, yakni pasal 1 ayat 1, pasal 18 ayat 3, pasal 18 ayat 1, pasal 22E ayat 3, dan pasal 28 D ayat 1.
“Menyatakan frase ‘terbuka’ pada pasal 168 ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar pihak pemohon sebagaimana dilansir dari website Mahkamah Konstitusi.