Kamis, 10 Nov 2022 – 22:50 WIB
Pelaku bisnis minyak sawit merasa terbebani dengan aturan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). Menimbulkan ketidakpastian dan inefisiensi distribusi.
Presiden Direktur PT Sari Agrotama Persada, Jakarta, Kamis (10/11/2022), Thomas Muksim mengatakan, aturan DMO dan DPO membuat pelaku usaha sulit mengontrol distribusi bisnisnya.
Thomas mengaku pernah mengikuti rapat daring yang dihadiri mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana dan Lin Che Wei. Thomas mengusulkan agar Permendag No 8/2022 yang mewajibkan DMO sebesar 20 persen, sebagai syarat ekspor CPO dikembalikan ke peraturan sebelumnya. Yakni, Permendag No 2/2022.
Alasannya, ketentuan dalam Permendag di era M Lutfi, mewajibkan DMO sangat menyulitkan pelaku usaha, khususnya produsen dan eksportir. “Itu menyulitkan, karena kendali untuk mengontrol distribusi itu bukan ada di kami. Makanya, saya usulkan agar dikembalikan ke peraturan seperti sebelumnya. Tetapi, usulan tersebut tidak pernah dijalankan oleh Kementerian Perdagangan,” jelas bos distributor minyak goreng itu.
Asal tahu saja, kebijakan DMO mengatur kewajiban industri minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO), mengalokasikan sebagian produksinya untuk kebutuhan dalam negeri. Sedangkan kebijakan DPO mengatur harga minyak sawit mentah yang dialokasikan untuk dalam negeri.
Pakar ekonomi Universitas Al- Azhar Indonesia, Dr Sadino menyatakan, penerapan DMO dan DPO bukan hanya menyulitkan pengusaha sawit, namun juga merugikan petani sawit. “Bayangkan berapa banyak TBS petani yang tidak terbeli pabrik kelapa sawit (PKS) akibat kebijakan DMO dan DPO. Banyak PKS tidak mau membeli TBS petani dengan alasan, penuhnya tangki timbun karena tidak adanya ekspor. Tentu ini sangat merugikan petani,” kata Sadino.
Sadino menjelaskan, gonta-ganti kebijakan terkait DMO dan DPO, jelas tidak menguntungkan dunia usaha yang membutuhkan kepastian dalam berusaha. “Perusahaan rugi, petani rugi, pendapatan negara berkurang dan merugikan perekonomian negara karena berkurangnya penerimaan devisa dan terhambatnya pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan yang keliru,” kata Sadino.
Diharapkan, pemerintah segera melakukan menghapus DMO dan DPO minyak sawit. Pasalnya, kebijakan DMO dan DPO merupakan salah satu penyebab hancurnya harga TBS petani. “Mendag tak perlu ragu lagi untuk segera mencabut DMO dan DPO ini. Agar tidak ada yang dirugikan,” jelasnya.
Sadino menilai, kebijakan DMO dan DPO berpotensi menimbulkan risiko ketidakpastian dan inefisiensi perdagangan CPO. Dan itu terbukti setelah diterapkan beberapa bulan belakangan ini. “Kebijakan tersebut justru membatasi volume ekspor pertumbuhan ekonomi terhambat,” tegasnya.
Akibatnya, ekspor CPO dan produk turunannya anjlok signifikan. Dampaknya, petani kesulitan menjual tandan buah segar (TBS) karena pabrik pengolahan sawit (PKS) tidak membeli dengan alasan penuhnya tangki timbun.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung menegaskan, gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO berdampak kepada pertumbuhan ekonomi. Selain mengurangi daya saing industri sawit.
Tungkot menyarankan pemerintah agar mempertahankan mekanisme yang telah teruji selama ini. Yakni, kombinasi antara PE dan BK. Kebijakan ini lebih menjamin hilirisasi dan peningkatan penggunaan konsumsi domestik baik untuk energi maupun makanan dan oleokimia. “Misalnya, ketika harga internasional CPO naik, pemerintah tinggal menaikan pungutan ekspor, sehingga tidak perlu menunggu sampai minyak goreng menghilang dari pasar. Kalau harga CPO stabil, pungutan ekspor bisa baru diturunkan pelan-pelan,” katanya.
Tungkot sependapat bahwa kebijakan DMO dan DPO tidak diperlukan lagi di Indonesia. Langkah pemerintah mengatasi kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng dengan melarang ekspor CPO merupakan kebijakan yang tidak tepat dan keliru. Gonta-ganti kebijakan,selain menimbulkan ketidakpastian berusaha juga membuat resiko rawan akan pelanggaran.
“Yang benar dalam kebijakan yang lalu bisa menjadi salah di kebijakan berikutnya. Itulah, maka pengusaha menjadi korban dalam kebijakan tersebut. Kita melihat jika ada kasus yang ditangkap, kita hormati proses hukumnya. Ke depan jangan sampai kebijakan yang buat justru membawa korban,” tegasnya.
Iwan Purwantono