Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menilai bisnis PCR (Polymerase Chain Reaction) di masa pandemi COVID-19, memang menggiurkan. Tapi, wong cilik yang jadi korban karena harus membayar mahal agar bisa menjalani tes PCR.
“Ada kemungkinan memang banyak pihak yang sudah investasi banyak di bisnis ini. Namun seiring dengan menurunnya pandemi menjadi kurang laku. Akan tetapi dengan ditetapkan melalui regulasi maka akan laku kembali,” papar Salamuddin kepada Inilah.com, Jakarta, Senin (1/11/2021).
Ketika pandemi COVID-19 mulai menurur, lanjutnya, pemerintah memberikan sejumlah pelonggaran. Termasuk meningkatkan kapasitas transportasi umum hingga 100 persen. Namun di sisi lain, pemerintah mensyaratkan penumpang melakukan sejumlah tes, termasuk PCR yang harganya cukup menguras kantong. “Mungkin tujuannya untuk menghidupkan ekonomi dan juga menghidupkan bisnis PCR. Namun di saat kondisi rakyat sedang sulit, kebijakan ini pasti memberatkan,” ungkapnya.
“Memang sebaiknya dalam situasi pandemi yang sifatnya global seperti ini, tidak selayaknya dibisniskan. Karena bisa memicu moral hazard. Selain itu juga bisa memicu usaha usaha yang keluar dari nilai-nilai kemanusiaan,” tuturnya.
Dikatakan Salamuddin, tidak bisa dibayangkan jika terjadi perlombaan adu ganas virus COVID-19, hanya demi meraup cuan dari bisnis PCR. Atau bisnis vaksin yang paling ampuh, bahkan bisnis obat yang paling mujarab. “Ini sama saja menjadi kan virus sebagai alat pemasaran bisnis,” ungkapnya
Mantan Direktur Yayasan LBH Indonesia, Agustinus Edy Kristianto, melalui akun facebook, menyebut tiga menteri yang diduga terafiliasi (ada kaitannya) dengan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI).
Di mana, salah satu unit usaha PT GSI adalah GSI Lab yang menyediakan layanan tes COVID-19. Mulai PCR Swab Sameday (Rp275 ribu), Swab Antigen (Rp95 ribu), PCR Kumur (Rp495 ribu), S-RBD Quantitative Antibody (Rp249 ribu). Dalam situs resminya, GSI Lab mengklaim memiliki 1.000+ klien korporat, melaksanakan 700.000+ tes, menyalurkan 5.000+ tes gratis, dan donasi total Rp4,4 miliar.
Menurut Agustinus, ketiga pejabat negara itu, adalah pemutus kebijakan terkait penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia. Di tangan mereka-lah aturan wajib PCR dikendalikan. “Dia yang membuat kebijakan sebagai pemerintah, dia juga yang jualan barangnya!” tulis Agustinus.
Â