Friday, 27 June 2025

Tumpang Tindih Putusan MK soal Pemilu, Kemarin Serentak Kini Dipisah

Tumpang Tindih Putusan MK soal Pemilu, Kemarin Serentak Kini Dipisah


Anggota Komisi II DPR Muhammad Khozin menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan antara pemilu lokal dan pemilu nasional dengan jeda waktu 2,5 tahun, bersifat tidak konsisten. Putusan No 135/PUU-XXII/2024 ini, justru bertentangan dengan Putusan MK soal keserentakan pemilu.

“Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 26 Februari 2020, itu MK telah memberi enam opsi keserentakan pemilu. Tapi putusan MK yang baru justru membatasi, ini paradoks,” kata Khozin kepada wartawan, Jumat (27/6/2025).

Menurut politisi dari fraksi PKB ini, MK seharusnya konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberi pilihan kepada pembentuk undang-undang (UU) dalam merumuskan model keserentakan dalam UU Pemilu.

“Bahwa UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk ‘lompat pagar’ atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU,” tegasnya.

Baca Juga:  Komisi XII: Tutup Tambang Nikel di Raja Ampat Jika Terbukti Melanggar!

Apalagi, Khozin menambahkan, dalam pertimbangan hukum di angka 3.17 putusan MK No 55/PUU-XVII/2019  secara tegas menyebutkan MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilihan.

“Putusan 55 cukup jelas, MK dalam pertimbangan hukumnya menyadari urusan model keserentakan bukan domain MK, tapi sekarang justru MK menentukan model keserentakan,” sesal Khozin.

Ia menegaskan, putusan MK yang bertolak belakang dengan putusan sebelumnya ini akan berdampak secara konstitusional terhadap kelembagaan pembentuk UU (DPR dan Presiden), konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu, hingga persoalan teknis pelaksanaan pemilu.

“Implikasi putusan MK ini cukup komplikatif. Sayangnya, MK hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Di sinilah makna penting dari hakim yang negarawan, karena dibutuhkan kedalaman pandangan dan proyeksi atas setiap putusan yang diputuskan,” ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pemilihan umum (pemilu) lokal atau daerah diselenggarakan paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan setelah pemilu nasional rampung.

Baca Juga:  PM Malaysia Minta Prabowo Kerahkan Intelijen Jembatani Konflik Myanmar

Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan bahwa rampungnya pemilu nasional dapat dihitung dari waktu pelantikan masing-masing jabatan politik yang dipilih dalam pemilu nasional tersebut.

Adapun pemilu nasional ialah pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden, sementara pemilu lokal atau daerah terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.

Saldi mengatakan bahwa Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu dipertimbangkan dari pengalaman jadwal pemilu anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota tahun 2024 yang berdekatan dengan pemilihan kepala daerah.

Menurut MK, agenda pemilu nasional dan lokal pada tahun yang sama menyebabkan berbagai permasalahan, termasuk di antaranya pelemahan terhadap pelembagaan partai politik karena kurangnya waktu bagi parpol menyiapkan kader untuk berlaga dalam setiap jenjang pemilu.