Selasa, 27 Des 2022 – 11:29 WIB
Lima terdakwa perkara korupsi Persetujuan Ekspor (PE) minyak goreng mengikuti sidang pembacaan tuntutan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (22/12/2022). (Foto: Antara/Desca Lidya Natalia)
Sidang perkara mafia minyak goreng (migor) atau perkara korupsi ekspor CPO dan turunannya di Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuat pelaku usaha ketar-ketir. Pasalnya, tuntutan jaksa yang dibebankan kepada salah satu terdakwa yakni, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, selain pidana 12 tahun juga disertakan pidana tambahan membayar uang pengganti Rp10,98 triliun. Langkah jaksa dianggap tak tepat lantaran mengambil rujukan kerugian negara yang dianggap tidak sah.
Menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi dari Universitas Indonesia (UI) Haula Rosdiana aparat penegak hukum harus cermat menghitung kerugian negara dalam perkara korupsi. Baik yang dibebankan kepada perseorangan maupun korporasi. Sebab, selain menjamin adanya kepastian hukum, perhitungan negara menjamin kepastian usaha di Tanah Air.
“Kalau ini belum diatur bahaya, setiap orang nanti pakai metode berbeda sesuai dengan seleranya, tidak ada kepastian dan standarisasi,” kata Haula, di Jakarta, Selasa (27/12/2022).
Menurutnya lagi, Mahkamah Konstitus (MK) melalui putusan nomor 25/PUU-XIV/2016 menegaskan kerugian negara harus dibuktikan secara nyata (actual loss) bukan potensi perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss). Celakanya, sejauh ini belum ada metode penghitungan kerugian perekonomian negara sebagaimana yang diterapkan dalam perkara mafia migor itu.
“Itu berarti bukan sesuatu yang riil. Kita berbicara mengenai tuntutan hukum, berarti harus fakta hukum dong, kalau fakta hukum itu bukan prediksi atau asumsi,” ujarnya.
Dia menilai, pelaku usaha turut dirugikan dalam perkara yang mengakibatkan kelangkaan migor di tengah masyarakat pada awal 2022 ini, sehingga memaksa menjual migor di atas harga eceran tertinggi (HET) ketika harga CPO dunia melambung. Namun situasi tersebut tidak menjadi pertimbangan jaksa dalam mengusut perkara korupsi.
“JPU menuntut sesuatu yang sebetulnya belum jelas dan tidak bisa dihitung. Tidak bisa dihitung. Belum ada dasar hukum untuk menentukan bagaimana dihitung dan siapa yang menghitung,” terangnya.
Perkara mafia migor yang menjerat Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair PT.Victorindo Alam Lestari Stanley Ma, General Manager Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indra Sari Wisnu Wardhana, dan eks Tim Asistensi Menko Perekonomian yang juga pendiri Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) dan Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei memasuki babak akhir setelah seluruh terdakwa dituntut oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakpus pada Kamis (22/12/2022).
Tumanggor dibebankan pidana uang pengganti lantaran dianggap jaksa terbukti memperkaya korporasi. Apabila dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum uang pengganti Rp10,98 triliun tidak dibayarkan maka aset terdakwa di PT Wilmar Nabati Indonesia senilai Rp6,75 triliun, PT Multimas Nabati Asahan senilai Rp3,6 triliun, PT Sinar Alam Permai senilai Rp464 miliar, PT Multimas Nabati Sulawesi Rp36 miliar, dan PT Wilmar Bio Energi Indonesia Rp53 miliar disita oleh jaksa dan dileang untuk menutupi uang pengganti.
Tumanggor menjadi terdakwa yang dituntut pidana tinggi dibanding terdakwa lainnya yakni Pierre Togar Sitanggang 11 tahun, Stanley 10 tahun pidana penjara, Lin Che Wei delapan tahun dan Wisnu Wardana yang dituntut pidana tujuh tahun pidana penjara. Sidang kelima terdakwa bakal dilanjutkan dengan agenda mendengarkan nota pembelaan (pleidoi) dalam sidang selanjutnya yang digelar 27 Desember 2022.
Erwin C. Sihombing