Panggung politik New York, yang biasanya didominasi nama-nama lawas dengan jargon usang, kini diguncang kehadiran seorang pendatang baru yang mencuri perhatian: Zohran Mamdani. Bukan sekadar politikus biasa, tapi seorang poliglot inklusif yang kampanye primernya dalam bursa Wali Kota dari Partai Demokrat sukses besar. Kabarnya, dia ini jadi contoh anyar bagaimana meraup suara di era digital, kata PR News.
Apa resep suksesnya? Mamdani ogah pakai bahasa langit yang biasa diobral politikus. Pidato dan unggahan media sosialnya terasa seperti obrolan santai di meja makan keluarga. Isu-isu ruwet macam transportasi gratis atau pembekuan sewa, dia sulap jadi renyah dan mudah dicerna semua kalangan.
Tapi bukan itu saja. Mamdani ini poliglot! Dia bisa ngomong cas-cis-cus dalam empat bahasa: Inggris, Spanyol, Urdu, dan Hindi. Konon, dia mirip Fiorello La Guardia, mantan Wali Kota New York era 1930-an yang juga jago banyak bahasa. Di kota yang etnisnya bagaikan gado-gado ini, kemampuan linguistiknya jelas jadi magnet dahsyat. Dia tak sekadar berkomunikasi, tapi merangkul!
Koalisi Lintas Komunitas: Bukan Transaksi, tapi Hati ke Hati!
Lupakan politik transaksional yang bau amis. Mamdani membangun gerakan berbasis komunitas, merajut aliansi dengan siapa saja. Komunitas Asia Selatan dan Asia Timur, dia sikat habis. Bahkan Senator Negara Bagian New York, John Liu, ikut merapat.
Di Queens, yang banyak dihuni warga keturunan Asia, dia bikin kampanye dwibahasa, materi kampanyenya disebar dalam berbagai bahasa lokal. Komunitas Tionghoa-Amerika disentuh dengan kepekaan budaya, diakui sumbangsih historisnya bagi New York.
Kaum kulit hitam? Jangan ditanya. Dia hadir di forum National Action Network milik Rev Al Sharpton, menyuarakan isu perumahan terjangkau, reformasi kepolisian, dan keadilan transportasi. Lintas agama pun dia jamah. Masjid, gereja, kuil Hindu, sinagoga… semua dia kunjungi, merajut narasi kebersamaan dalam keberagaman. Sebuah manuver yang berani dan cerdas!
Identitas Muslim yang Mengguncang Narasi Lama
Ini yang paling menarik. Di saat banyak politikus alergi bicara agama, Mamdani justru bangga dengan identitas Muslim berdarah India-Uganda yang mengalir di tubuhnya. Pengalaman pahit keluarga, termasuk bibinya yang berhijab pernah kena Islamofobia, jadi bahan bakar baginya terjun ke politik.
Dia mengubah narasi usang tentang Muslim sebagai ‘orang luar’ menjadi Muslim sebagai pemimpin. Ini bukti nyata: identitas keagamaan tak harus bertentangan dengan nilai-nilai progresif dan multikultural. Sebuah gebrakan yang patut diacungi jempol di tengah hiruk pikuk politik identitas.
TikTok dan Ribuan Relawan Muda: Senjata Mematikan di Era Digital
Sukses Mamdani tak lepas dari dominasinya di media sosial. Video kampanyenya disebut ‘bagus’ dan viral oleh The New Yorker. Di TikTok, dia tampil segar, visualnya menarik pemilih muda.
Strategi ini bukan sekadar pamer di dunia maya. Ribuan relawan muda, mayoritas di bawah 30 tahun, terinspirasi dan terjun langsung. Lebih dari 30 ribu relawan, kata The City, mengetuk 750 ribu pintu warga New York. Hasilnya? Peningkatan jumlah pemilih di early voting, terutama dari kalangan pemilih pemula. Ini dia, kekuatan massa yang sesungguhnya!
Memimpin dengan Nilai, Bukan Sekadar Identitas!
Meski identitasnya kuat, Mamdani tak lantas menjualnya mati-matian. Dia tetap fokus pada isu-isu krusial: perumahan terjangkau, transportasi publik yang adil, penitipan anak gratis. Dalam wawancara dengan Hot 97, dia kembali menegaskan: perjuangannya berakar dari nilai, bukan dari perbedaan. Sebuah pesan yang menohok dan relevan.
Dengan segala pendekatan menyeluruhnya, menyentuh setiap segmen pemilih, dan komunikasi yang kekinian, Zohran Mamdani kini jadi salah satu kuda hitam terkuat dari Partai Demokrat untuk kursi Wali Kota New York. Dia bukan cuma politikus progresif, tapi juga inklusif dan berani.Â
Memberi harapan baru bahwa masa depan politik Amerika bisa lebih representatif dan berpihak pada semua warga.
Akankah New York siap menyambut revolusi dari seorang poliglot ini? Kita tunggu saja.