Wednesday, 03 July 2024

Kisah Waliullah Sunan Gunung Jati Berhaji ke Tanah Suci

Kisah Waliullah Sunan Gunung Jati Berhaji ke Tanah Suci


Disebutkan pula nama dua guru Sunan Gunung Jati, yaitu Najmuddin al-Kubrā di Mekkah, dan Syekh Ibnu Ataillah al-Iskandarī al-Shadhili di Madinah. Informasi ini jelas salah, karena al-Kubra (1145-1221) tidak mengajar di Mekkah melainkan Khwarazm, di Asia Tengah, bahkan jauh sebelumnya, pada abad ke-12 dan ke-13. Sedangkan Ibnu Atäillah (sekitar 1309/10) mengajar di Mesir pada abad ke-13. 

 

Cerita paling tua tentang perjalanan haji ‘warga’ Indonesia yang tercatat Sejarah tampaknya adalah perjalanan haji Sunan Gunung Jati, seorang waliullah. Kisah ini memang sedikit lebih ‘muda’ dibanding kisah perjalanan ibadah haji Hang Tuah, laksamana Malaka.  Boleh jadi, Hang Tuah pun berasal dari wilayah Indonesia saat ini, Riau. Namun bagaimana pun sang laksamana dikenal lebih dekat sebagai ‘’orang Melayu atau orang Malaysia”, dibanding orang Indonesia, saat ini. 

Perjalanan Sunan Gunung Jati dan putranya, Maulana Hasanuddin, yakni kedua raja Islam pertama di Kerajaan Banten, itu termuat dalam teks berbahasa Jawa berju-dul “Sajarah Banten Ranté-Ranté” (SBRR). Sajarah Banten Ranté-Ranté adalah teks independen dalam bentuk prosa dan bertulisan Arab pegon. Isinya sekumpulan kisah, yang menurut sejarawan terkemuka, Hoesein Djajadiningrat disusun sekitar tahun 1700, antara 1662 dan sekitar 1725.

Ada pula sumber lain, “Hikayat Hasanuddin” (berbahasa Melayu dan berbentuk prosa) disusun lebih kemudian, pada akhir abad ke-18 atau sesudahnya. Kita tidak mengetahui dari teks Jawa mana hikayat ini diterjemahkan, tetapi isinya cukup mirip naskah-naskah SBRR yang ada, sampai dapat dibandingkan halaman demi halaman.

Edel (1938) menyajikan edisi “Hikayat Hasanuddin” menurut sebuah naskah milik Universitas Leiden, beserta bagian-bagian padanan dalam SBRR menurut sebuah naskah milik Hoesein Djajadiningrat, ditambah sebuah ringkasan terperinci dari kedua teks tersebut. 

Sementara menurut “Sajarah Banten”, Sunan Gunung Jati adalah “seorang yang keramat, yang bapaknya berasal dari Yamani dan ibunya dari Banisrail (Djajadiningrat 1983:33). (Nama Banu Israil digunakan Alquran untuk menunjuk bangsa Yahudi.) Berdasarkan banyak legenda yang berkembang di Jawa, dan disandingkan dengan kesaksian beberapa penulis Portugis (di antaranya Fernandes Mendes Pinto yang ikut dalam perang melawan Pasuruan, 1546), disaringlah beberapa elemen biografi Sang Sunan. 

Sunan Gunung Jati lahir di Pasai. Ketika kota itu direbut Portugis pada 1521, ia pergi ke Mekkah dan belajar di sana selama dua atau tiga tahun. Waktu pulang ke Indonesia, ia mungkin singgah di Pasai, tetapi cepat pindah ke Jepara. Ia memperistrikan adik Pangeran Trenggana, Sultan Demak, lalu bermukim di Jawa Barat dan merebut kota Banten. Dengan bantuan bala tentara dari Demak, ia juga merebut kota Sunda Kelapa tahun 1527, lalu ikut serta dalam serangan Demak atas Pasuruan tahun 1546, dan akhirnya menetap di Cirebon. Di kota itulah ia meninggal sekitar tahun 1570.

Sunan Gunung Jati dikenal dengan beberapa nama: Said Muhammad Nurullah, Syarif Hidayatullah, Falatehan dan Tagaril. Ia adalah tokoh utama sejarah pengislaman Jawa Barat dan juga pendiri Kerajaan Islam Banten. Namun putranyalah, Maulana Hasanuddin (memerintah 1552-1570) yang dipandang sebagai raja Islam pertama di Banten oleh historiografi Jawa. Hasanuddin meneruskan jasa ayahnya, hingga meninggal tahun 1570, yaitu kiranya pada tahun yang sama dengan ayahnya (Djajadiningrat 1983:214).

 

Baca Juga:  7 Adab Menyempurnakan Ibadah Kurban Sesuai Sunnah Nabi

Naik haji sambil belajar tarikat 

Dalam “Hikayat Hasanudin” diceritakan perjalanan haji Sunan Gunung Jati dan hasanudin, meski amat singkat. Yang diutamakan justru cerita bagaimana kedua tokoh itu belajar tarekat.  

Disebutkan pula nama dua guru Sunan Gunung Jati, yaitu Najmuddin al-Kubrā di Mekkah, dan Syekh Ibnu Ataillah al-Iskandarī al-Shadhili di Madinah. Informasi ini jelas salah, karena al-Kubra (1145-1221) tidak mengajar di Mekkah melainkan Khwarazm, di Asia Tengah, bahkan jauh sebelumnya, pada abad ke-12 dan ke-13. Sedangkan Ibnu Atäillah (sekitar 1309/10) mengajar di Mesir pada abad ke-13. 

Selain itu, teks “SBRR” mengutip silsilah rohani Najmuddin al-Kubră, berupa nama 10 orang syekh antara al-Kubrā dan Nabi Muhammad SAW, ditambah lagi nama ke-27 murid yang konon belajar bersama Gunung Jati. Dari guru yang kedua, Ibn Ațăillāh, dikatakan bahwa Sunan Gunung Jati dibaiatnya dalam tarekat Syadhiliyah, Syattariyah dan Naqsyabandiyah.

Martin Van Bruinessen (1994), yang menjadi sumber segala keterangan tentang tarekat dalam cerita tersebut, telah menelaah dan mengindentifikasi semua tokoh tersebut. Mereka sebenarnya tidak sezaman dengan Sunan Gunung Jati, malah tak pula sezaman satu sama lain. Tetapi pengutipan nama mereka dalam “SBRR” membuktikan bahwa tarekat Kubrawiyah berikut sejarahnya dikenal dengan sangat mendalam di Banten pada waktu teks tersebut disusun, yaitu sekitar tahun 1700. Selanjutnya van Bruinessen menelusuri berbagai jejak tarekat Kubrawiyah dalam sejarah Islam di Indonesia.

Inilah contoh satu lagi dari sebuah teks sejarah yang tidak menyajikan sebuah informasi historis yang tepat, tetapi mengandung informasi yang tidak kalah nilainya tentang budaya setempat dan tentang maksud penulisnya, dalam hal ini tentang pengetahuan penulis akan berbagai tarekat dan maksudnya untuk mempertautkan tarekat itu dengan Sunan Gunung Jati. Di atas telah disebut empat tarekat; harus ditambah satu lagi, yaitu Khalwatiyah, karena Sunan Gunung Jati dibaiat dalam tarekat ini oleh seorang syekh bernama Datuk Barhul waktu ia singgah di Pasai sepulangnya dari Mekkah, atas suruhan Nabi Muhammad SAW sendiri.

Sunan Gunung Jati naik haji dua kali. Pertama kalinya ia pergi seorang diri dan sehabis berhaji ia dibaiat dalam kelima tarekat di atas. Kali yang kedua, ia membimbing putranya, Hasanuddin, naik haji dan kemudian dibaiat, di Madinah, dalam tarekat Naqsyabandiyah. Beberapa waktu kemudian, Hasanuddin berumur 20 tahun (Edel h. 38).

Dalam tulisan lain, van Bruinessen (1992:43-45) mencatat bahwa episode Hasanuddin dibaiat dalam tarekat Naqsyabandiyah tidak diceritakan dalam “Sajarah Banten” versi 1662, tetapi ada dalam versi 1725, dengan kesimpulan bahwa tarekat tersebut rupanya menjadi tersohor di Banten antara kedua tahun itu. Memang diketahui bahwa Naqsyabandiyah disebarkan di Indonesia mulai paruh kedua abad ke-17.

Masih perlu dijelaskan mengapa Sunan Gunung Jati dan Maulana Hasanuddin, yang hidup lama sebelum periode tersebut, diceritakan pembaiatannya dalam berbagai tarekat. Selama periode 1662-1725 (masa ditulisnya “SBRR”), Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (memerintah 1651- 1682), telah menjadi sebuah pusat pengajaran agama Islam yang terkenal, yang berorientasi ke Mekkah dan secara mantap berhubungan dengan Mekkah dan Madinah. Itulah juga periode kehadiran dan pengaruh Syekh Yusuf al-Makasari (tiba di Banten sekitar tahun 1670). 

Itu juga periode pertikaian antara Sultan Ageng dan putranya (yang kemudian menjadi Sultan Haji), yang akan berakibat intervensi Belanda serta penangkapan Sultan Ageng dan Syekh Yusuf tahun 1683. Syekh Yusuf pernah dibaiat dalam 10 tarekat lebih, khususnya dalam Naqsyabandiyah dan Khalwatiyah. la bahkan bergelar Al-Taj al-Khalwati (Mahkota Tarekat Khalwatiyah).

Teks sejarah yang ditulis selama periode konflik politik sering merupakan usaha legitimasi atau usaha membuktikan suatu kejadian. Disebutnya beberapa tarekat, khususnya Naqsyabandiyah dan Khalwatiyah dalam “SBRR” dan “Hikayat Hasanuddin”, mungkin sekali bertujuan mengutamakan Sunan Gunung Jati dan Hasanuddin atas Syekh Yusuf dalam pengetahuan (dan barangkali penyebaran) tarekat tersebut. 

[sumber : Naik Haji di Masa Silam, jilid 1 tahun 1482-1890, Henri Chambert-Loir, 2013] 

 

Baca Juga:  Merasa Dikriminalisasi Penyidik KPK, Staf Sekjen Hasto Minta Perlindungan LPSK